Menjadi
pribadi yang independen adalah impian semua orang. Mereka yang independen atau
mandiri dapat membangun dinasti bisnis, dinasti karakter serta dinasti keluarga
yang mapan dan sejahtera. Selain dapat mensejahterakan dirinya, seorang yang
mandiri dituntut kemampuannya untuk dapat menyejahterakan orang lain yang ada
di sekitarnya. Mandiri merupakan kunci kesuksesan bagi sebagian besar orang,
terutama Kompasianer dalam kegiatan menulis dan jurnalisme warga yang digeluti.
Satu ilustrasi yang cukup menarik, banyak tokoh dan elit negeri ini bicara tentang kemandirian bangsa, namun untuk mengedukasi masyarakat tentang kemandirian bangsa justru merupakan kontradiksi yang tak luput dari perhatian. Suatu gambaran konkret bahwa menjadi mandiri dibutuhkan karakter terbarukan. Tidak sekadar karakter lama sebagai pribadi yang menginginkan terwujudnya harapan tanpa ikhtiar.
Banyak sekali anak muda menginginkan diri mereka mandiri baik di dalam maupun di keluarga. Bicaranya tentu enak, namun kenyataan di lapangan mempraktekkan kemandirian ternyata tidak jauh berbeda dengan mengangkat beban berton-ton beratnya. Ngos-ngosan, tentu saja. Tujuannya, tentu saja karir yang mapan, keluarga yang bahagia, pribadi yang matang. Tolak ukurnya, kesejahteraan finansial.
Sedikit pengalaman tentang kemandirian, saya adalah salah satu Kompasianer muda yang cukup sulit menapaki kemandirian, sekalipun telah dipupuk sejak masih duduk di sekolah dasar. Saya adalah orang yang dulunya paling malas mencuci baju kotor sendiri, karena pembantu rumah tangga yang terbiasa mengurusi. Namun semakin dewasa saya perlu untuk melakukannya, dan akhirnya saya terbiasa. Begitu pula dengan mencuci piring, gelas dan alat makan.
Seorang teman berkata kepada saya demikian, “Josh, gue udah mandiri loh!” Saya terkaget-kaget, ternyata kemandirian yang dimaksud bukan karakternya, tetapi ia menunjukkan sebuah kartu ATM yang baru dimilikinya beberapa jam berselang. Lantas saya tahu bahwa ia baru saja menapaki kemandirian keuangan, namun batin saya tertawa karena kurang begitu yakin.
“Serius lo? Udah bisa cuci baju sendiri belom?” tukas saya setelahnya.
Gelak tawa saya pecah ketika seusai makan bersama di rumahnya, ia belum tahu bagaimana cara mencuci piring yang benar dan bersih. Masih ada sisa lemak di piringnya. Inikah yang dimaksud dengan kemandirian?
Hmmm… Tak sedikit muda-mudi sekarang terjebak dalam fatamorgana kemandirian yang diukur berdasarkan kemapanan finansial. Hal ini semata-mata untuk menaikkan pamor, atau tidak mau kalah dengan orangtuanya. Padahal, manajemen keuangan benar-benar beresiko dibanding manajemen diri yang sederhana, seperti membereskan tempat tidur atau disiplin dan tanggung jawab dalam menggunakan utilitas rumah, contohnya gunting, pisau atau solatip. Saya banyak menemukan hal ini di teman-teman saya. Umumnya mereka terperangkap dalam kemalasan, sekalipun uang jajannya membanjir di dompet.
Memang sebuah kontradiksi. Uang telah membutakan tanggung jawab dan disiplin seorang anak. Tapi apa mau dikata. Kasta-lah yang mengizinkan ini terjadi. Kalau saya jadi mereka, malu rasanya. Apalagi jika isteri di masa depan tahu boroknya saya yang dulunya pemalas. Bisa-bisa belum apa-apa sudah cerai karena tidak bisa membantu isteri menyelesaikan pekerjaan rumah. Iya, kan?
Semua dimulai dari, oleh dan untuk diri sendiri, termasuk untuk menjadi pribadi mandiri. Semoga muda-mudi yang bergairah dan penuh semangat tidak hanya berkutat di tempat tidur dengan gadget canggih saja. Kemandirian dapat dimulai dengan mengubah pola pikir, seperti kata Hazmi Srondol. Penulis novel komedi Srondol Gayus ke Italy ini berpendapat, pikiran selalu mendahului tindakan. Juga dibutuhkan ekstra kesabaran, waktu dan tenaga untuk meraih gelar “independen” sesungguhnya. (dari berbagai sumber)
Satu ilustrasi yang cukup menarik, banyak tokoh dan elit negeri ini bicara tentang kemandirian bangsa, namun untuk mengedukasi masyarakat tentang kemandirian bangsa justru merupakan kontradiksi yang tak luput dari perhatian. Suatu gambaran konkret bahwa menjadi mandiri dibutuhkan karakter terbarukan. Tidak sekadar karakter lama sebagai pribadi yang menginginkan terwujudnya harapan tanpa ikhtiar.
Banyak sekali anak muda menginginkan diri mereka mandiri baik di dalam maupun di keluarga. Bicaranya tentu enak, namun kenyataan di lapangan mempraktekkan kemandirian ternyata tidak jauh berbeda dengan mengangkat beban berton-ton beratnya. Ngos-ngosan, tentu saja. Tujuannya, tentu saja karir yang mapan, keluarga yang bahagia, pribadi yang matang. Tolak ukurnya, kesejahteraan finansial.
Sedikit pengalaman tentang kemandirian, saya adalah salah satu Kompasianer muda yang cukup sulit menapaki kemandirian, sekalipun telah dipupuk sejak masih duduk di sekolah dasar. Saya adalah orang yang dulunya paling malas mencuci baju kotor sendiri, karena pembantu rumah tangga yang terbiasa mengurusi. Namun semakin dewasa saya perlu untuk melakukannya, dan akhirnya saya terbiasa. Begitu pula dengan mencuci piring, gelas dan alat makan.
Seorang teman berkata kepada saya demikian, “Josh, gue udah mandiri loh!” Saya terkaget-kaget, ternyata kemandirian yang dimaksud bukan karakternya, tetapi ia menunjukkan sebuah kartu ATM yang baru dimilikinya beberapa jam berselang. Lantas saya tahu bahwa ia baru saja menapaki kemandirian keuangan, namun batin saya tertawa karena kurang begitu yakin.
“Serius lo? Udah bisa cuci baju sendiri belom?” tukas saya setelahnya.
Gelak tawa saya pecah ketika seusai makan bersama di rumahnya, ia belum tahu bagaimana cara mencuci piring yang benar dan bersih. Masih ada sisa lemak di piringnya. Inikah yang dimaksud dengan kemandirian?
Hmmm… Tak sedikit muda-mudi sekarang terjebak dalam fatamorgana kemandirian yang diukur berdasarkan kemapanan finansial. Hal ini semata-mata untuk menaikkan pamor, atau tidak mau kalah dengan orangtuanya. Padahal, manajemen keuangan benar-benar beresiko dibanding manajemen diri yang sederhana, seperti membereskan tempat tidur atau disiplin dan tanggung jawab dalam menggunakan utilitas rumah, contohnya gunting, pisau atau solatip. Saya banyak menemukan hal ini di teman-teman saya. Umumnya mereka terperangkap dalam kemalasan, sekalipun uang jajannya membanjir di dompet.
Memang sebuah kontradiksi. Uang telah membutakan tanggung jawab dan disiplin seorang anak. Tapi apa mau dikata. Kasta-lah yang mengizinkan ini terjadi. Kalau saya jadi mereka, malu rasanya. Apalagi jika isteri di masa depan tahu boroknya saya yang dulunya pemalas. Bisa-bisa belum apa-apa sudah cerai karena tidak bisa membantu isteri menyelesaikan pekerjaan rumah. Iya, kan?
Semua dimulai dari, oleh dan untuk diri sendiri, termasuk untuk menjadi pribadi mandiri. Semoga muda-mudi yang bergairah dan penuh semangat tidak hanya berkutat di tempat tidur dengan gadget canggih saja. Kemandirian dapat dimulai dengan mengubah pola pikir, seperti kata Hazmi Srondol. Penulis novel komedi Srondol Gayus ke Italy ini berpendapat, pikiran selalu mendahului tindakan. Juga dibutuhkan ekstra kesabaran, waktu dan tenaga untuk meraih gelar “independen” sesungguhnya. (dari berbagai sumber)
5 comments:
Setuju Gan....
bner itu boy,, saya setuju bnget
saya setuju tuk menjadi pribadi yang independen mas.. ya supaya bisa jadi seperti yang mas nya bilang.. jadi impian semua orang
Salut... jaman gini setiap orang harus bisa mandiri. Hidup makin masing-masing...
anak desa berkunjung ke kawulo alit dunk. ni link bener ga?
Posting Komentar