30 Juni 2011

Poetry Battle: Ajang Apresiasi Sastra Ala Jogja Hip-Hop Foundation

By Yogi Rahmantyo  |  6/30/2011 06:59:00 PM No comments

Gara-gara dengerin MP3 dari ajang Poetry Battle, jadi pengen nulis soal Poetry Battle. Ajang Poetry Battle pertama kali digelar pada tahun 2006 di Jogja dan dilanjutkan dengan Poetry Battle 02 pada tahun 2008 di Jakarta.

Poetry Battle adalah proyek ekplorasi kelompok Jogja Hip Hop Foundation yang mempertemukan musik hip-hop dengan karya puisi Indonesia. Proyek ini merupakan bagian dari Printemp des Poètes, atau Musim Semi Para Penyair, event internasional tahunan, yang pertama kali diadakan di Prancis, dan digelar setiap bulan Maret.

Printemp des Poètes mempunyai misi untuk mempromosikan puisi dengan segala cara dan berbagai macam bentuk, mulai dari sebuah bacaan ke bentuk musik dan video, dari ruang kelas ke jalanan dan café, dari puisi tradisional kepada generasi muda. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah membuat puisi menjadi lebih terakses secara maksimal kepada publik sambil meruntuhkan batas-batas bahasa dan bentuk-bentuk kesenian yang membatasi ruang gerak puisi itu sendiri.

Selama ini kita, eh saya, sering menganggap karya sastra puisi itu adalah karya sastra "kelas tinggi", rumit, dan sulit dicerna. Padahal puisi merupakan salah satu bentuk hasil pemikiran manusia tentang apa yang terjadi di masa itu, yang seringkali tak lekang waktu dan terjadi berulang.

Di satu sisi, musik hip-hop dan rap identik dengan budaya jalanan, budaya selengekan. Padahal bila ditelusuri, musik hip-hop juga memiliki nafas yang hampir sama, menyuarakan ekspresi dan pemikiran hingga kritik sosial tentang apa yang terjadi.

Karena bernafas yang senada, maka menggabungkan dua dunia yang sekilas berbeda ini menjadi suatu karya yang lebih keren dan baru.

Puisi dan karya sastra yang di-rap-kan pun beragam aliran. Kata-kata dalam puisi diucapkan dalam gaya lagu bercakap alias talking song, sehingga seperti hanyut dalam luapan ekspresi seni bergaya jalanan.

Ada yang membawakan sajak-sajak bermuatan sosial yang dipenuhi kata-kata lantang, seperti puisi karya Widji Tukul dan Rama Sindhunata. Ada pula yang mencoba mengolah puisi liris yang punya gaya bahasa yang halus dan rumit, seumpama karya Goenawan Mohamad, Joko Pinurbo, atau Cecep Syamsul Hari. Yang lebih sadis lagi, Kill The DJ (pendiri Jogja Hip Hop Foundation) mencoba mengulik sastra klasik dengan meng-hip-hop-kan Serat Centini karya pujangga Ranggawarsito, pujangga Keraton Surakarta awal abad ke-19.

Berbeda dengan gaya deklamasi, pembacaan teks puisi karya sastrawan Indonesia itu mengalir di atas panggung sebagai nyanyian yang hidup. Puisi keluar dari habitatnya sebagai teks yang konvensional dengan pakem pembacaan tertentu, lalu berubah menjadi pertunjukan seni yang sama sekali baru.

Lebih dari itu, "Poetry Battle" juga menerabas sekat-sekat seni, agama, ras, kelompok, atau etnis. Bahasa seni yang universal dimanfaatkan untuk membuka ruang dialog dan menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda.

"Puisi itu lapangan tafsir. Puisi dapat diterima dan diterjemahkan siapa pun dengan tingkat apresiasi bagaimana pun," komentar pengamat sastra dari Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, mengenai ajang ini.

Jika selama ini kita akrab dengan gaya Reda Gaudiamo dan Ari Malibu yang melantunkan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dalam suasana sendu, kini kita bisa menikmati gaya anak muda yang meneriakkan puisi dengan lebih bebas, gembira, dan dengan irama musik yang merangsang goyang.

Selamat menikmati.

Author: Yogi Rahmantyo

Hello.. Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami. Semoga bermanfaat untuk Anda. Salam sukses!!

0 comments:

Gratis!!

Daftarkan email Anda dan dapatkan artikel menarik setiap harinya.

Recent Articles

© 2014 Blog Anak Desa. WP themonic converted by Bloggertheme9. Powered by Blogger.
TOP